Jumat, 21 Desember 2012
cerpen karyaku untuk pendidikan
Semasih aku bisa berharap
oleh : Mia Maharani Dewi
prak prak prak ,, “ah suara itu lagi”
suda bosan aku mendengarnya pasti kejadian seperti kemarin-kemarin, aku bergegas masuk kamar adikku aku memeluknya lagi aku genggam tangan-tangan mungilnya, aku mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai memuncak. Sudah bisa ditebak inilah potret suram keluargaku “ah kapan semua ini akan berakhir” pertanyaan itu sudah terbiasa melekat menjadi catatan pertanyaan yang belum bisa terjawab sampai sekarang mungkin sampai pada akhirnya orangtuaku mengerti betapa inginnya aku dan adikku melanjutkan sekolah.
“sudahlah dik sabar saja, kakak mengerti perasaanmu” aku mencoba membuka pembicaraan setelah kurasa keadaan mulai tenang
“ami mencoba untuk sabar, tapi ami gak bisa dengan keadaan ini kak, ami tetap yakin ami bisa untuk melanjutkan sekolah apapun yang terjadi ami hanya butuh restu amaq sama inaq kak”. Mata adikku berkaca-kaca aku larut dalam suasana itu lagi suasana yang sudah tidak asing bagiku genggaman tangan adikku menggenggam erat tanganku, kurasa dia memang sangat bersungguh-sungguh ada dorongan yang kuat untuk dia melanjutkan sekolahnya. Aku merasa terjebak dalam lembah suram, dengan sejuta keinginan,harapan,kemauan. Aku sebenarnya juga begitu sering sekali air mataku keluar jikalau aku mengingat betapa ingginnya aku duduk di sebuah bangku itu lagi dengan seragam resmi, sebuah pulpen,menyimak materi yang diberikan dari sang pendidik yang mencerdaskan anak-anak bangsa “ya tuhan”.
Aku dan adikku memang bukan dari keluarga berada, bisa di bilang keluargaku masuk dalam kategori keluarga miskin, namun aku tak pernah putus asa, walaupun sudah tidak menjadi seorang yang menyandang predikat siswa aku tetap bertekad aku harus berhasil. Tidak jarang ketika aku pergi membantu inaq dan amaqku ke sawah melewati pinggiran-pinggiran perumahan penduduk kelas menengah aku melirik sampah-sampah yang dibuang penduduk “ah ternyata ada lagi, hari ini aku dapat lagi” sorak gembira dengan tatapan berkaca-kaca , perlahan aku meninggalkan langkah inaq dan amaq semoga mereka tidak melihatku, ku sembunyikan langkahku dari sorotan mata mereka yang mencariku dan dapat menggagalkan rencanaku. Kurasa sudah aman ku ambil lembaran-lemaran putih itu, ternyata hari ini aku dapat buku tentang materi biologi betapa senangnya hatiku melihat buku itu sudah di genggamanku. Sepertinya aku sudah bisa melanjutkan perjalananku mengikuti langkah-langkah inaq dan amaq yang terus sibuk melihat sepetak sawah sumber mata pencaharian keluargaku. Sepertinya aku akan segera membantu mereka, secepatnya aku menyembunyikan buka biologi itu di bawah batu dekat sawahku.
Tidak bosan-bosannya aku protes, pertanyaan itu berkecamuk di dalam hatiku. Bisa-bisanya mereka membuang buku tersebut, bukankah mereka mendapatkannya dari membeli, dan uang itu dari hasil kerja yang mereka geluti, walaupun mungkin ada yang mendapatkannya sebagai hadiah ulang tahun, atau mungkin dari sekolah atau mungkin juga sengaja dibelikan oleh orang tua mereka. Bukankah buku itu berisi ilmu, pantaskah buku itu dibuang,ditelantarkan,tak dihiraukan,tak diurus,atau menjadi sebuah sampah tak bermakna. Tidakkah mereka pernah berfikir, kalau saja kertas-kertas yang mereka buang, kertas-kertas dari buku tersebut mereka gabungkan maka kertas-kertas yang dibuang oleh seluruh penduduk di dunia jika di jejerkan melebihi diameter bumi. Bagaimana tidak global warning itu terjadi sikap seperti itu yang mereka anggap sepele sudah menjadi budaya dikalangan mereka yang pintar akan teori tapi awam akan penyebab tindakan. Buat apa sekolah tinggi-tinggi tapi kejadian itu masih menjadi daftar klise dan menjadi rating tertinggi.
Plok ,, “ aduh sakit” sebuah batu kecil menghantam keningku ternyata dari tadi aku kebanyakan melamun sampai tidak mendengarkan teriakan amaq memangggilku menyuruhku mengambilkannya sebuah pacul.
“ kamu jangan melamun, lamunanmu tidak akan merubah nasib keluarga ini” ah suara amaq membuat telingaku panas, sampai hati sekali amaq mengatakan hal seperti itu padahal sudah sering sekali orang-orang di sekelilingku memuji aku dan adikku karena mempunyai otak yang encer, tapi kenapa seorang lelaki yang biasa aku panggil amaq tidak terbuka hatinya dan sadar bahwa beliau mempunyai sepasang bidadari cerdas yang bertekad merubah keadaan ekonomi serta status keluarganya.
“gih amaq, ini mia ambilkan pacul, maaf kalau dari tadi mia melamun.”
“ sudahlah mia, amaq tahu apa yang ada didalam fikiranmu amak tahu apa yang kamu fikirkan. Lupakan semuanya bantulah amaq dan inaqmu mengerjakan pekerjaan yang harus selesai untuk menghidupi keluarga ini”.
Ikhlas sudah aku dengar beberapa kalimat dari ucapan amaq, aku sadar amaq memang sangat tidak mendukung untuk urusan pendidikan. Sudahlah tidak ada didalam diary kehidupanku serta moto hidupku untuk menanamkan sikap dari delapan gabungan huruf yang benci aku baca yaitu M-E-N-Y-E-R-A-H itu hanya moto orang tidak mau sukses.
Malam mulai datang ketika sang surya beristirahat, dan sang rembulan menggantinya dengan senyuman indah, ikhlas menyinari permukaan bumi tanpa harus memilih siapa yang harus dia sinari. Tidak peduli walaupun harus menyinari rumah dengan gubuk-gubuk reot seperti rumahku dari sana aku belajar ikhlas,dari sana aku belajar untuk tetap tersenyum dan dari sanalah aku belajar menghargai
“ dik kakak dapat buku dari tumpukan sampah penduduk, tadi pagi saat kakak melewati pinggiran perumahan penduduk saat kakak keswah”
“ buku apa kak ?”
Karena sangat gembira adikku sampai berteriak menyakan buku apa yang aku dapatkan tadi pagi, sampai-sampai amaq dan inaq yang tengah berbincang di luar mendengar teriakan adikku. Sudah dapat ditebak apa yang akn terjadi. Amaq masuk dengan melihat kami berdua dan terkejut melihat sebuah buku yang berda di tanganku, secepat kilat amaq merampas buku tersebut dan berlari keluar. Tidak beberapa lama amaq kembali dan membawa sebilah bambu, aku dan adikku diseret keluar di depan rumah, ayah yang sangat marah karena melihat buku itu menghantamkan bilah bambu ketubuh aku dan adikkku. Darah segar mengalir dari hidung dan paha aku dan adikku, samar-samar kulihat adikku sudah tidak bisa berdiri lagi “ami tersungkur ketanah, kasian adikku”
Tetes air mata keluar dari mataku, kupeluk tubuh mungil adikku dengan sisa-sisa tenagaku aku memegang kepalanya aku tatap dalam-dalam wajahnya, darah segar mengalir dari hidungnya memar-memar diseluruh tubuhku dan adikku. Sakit yang kurasakan sampai tidak aku pedulikan di benakku hanya ada kata ami, ami dan ami. Aku takut terjadi sesuatu yang fatal dengan adikku. Aku berlari dengan sisa tenagaku berlari keperumahan penduduk untuk meminta obat luka,tidak ku hiraukan apa yang akan terjadi nanti, terserah mereka mau berkata apa.
“ assalamualiakum” aku mengetuk pintu sebuah rumah yang begitu bagus dan rapi
“ waalaikumsalam, ada yang bisa saya bantu?”
“maaf bu mengganggu malam-malam tapi saya sangat membutuhkan obat merah dan perban”
Segera wanita parubaya itu masuk dan kembali membawa kotak berisi obat merah dan perban tapi di belakangnya terlihat seorang laki-laki dengan peci putih dan membawa segelas air putih, diberikannya aku air putih tersebut sejenak aku pandangi mereka, wanita itu mengedipkan mata pertanda aku dipersilahkan untuk meminum air tersebut.
“ ada apa nak? “ pertanyaan itu terlontar dari wanita parubaya itu
“ adik saya bu” air mataku keluar, mengalir deras membasahi muka-muka yang memar serta bajuku yang penuh dengan darah
“antar ibu dan bapak ke tempatmu nak” ujar wanita itu kepadaku, untuk mepercepat sampai tujuan aku dan kedua orang ini menggunakan mobil. Sesampainya disana aku berlari ke arah adikku yang masih terkapar lemah.
Tatapan sedih,bingung,kasihan begitu respect terpancar dari raut muka kedua orang yang begitu baik kepadaku, di pangkunya adikku oleh ibu ini dan segera diberikan obat dan dibalut luka-luka itu dengan perban. Aku menangis sejadi-jadinya sambil ku elus-elus kepala adikku tak ku hiraukan luka-luka yang memenuhi tubuhku aku hanya berharap ami dapat sadarkan diri, begitu terlukanya hatiku melihat saudara satu-satunya terkapar lemah tak berdaya tetapi aku tidak sedikitpun dapat berbuat apa-apa. Betapa bodohnya aku, sebagai anak paling besar, sabagai seorang wanita dengan status kakak, dan sebagai wanita yang bisa disebut dengan kata dewasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi,menjaga saudara perempuanku yang sangat lemah tak berdaya.
“apa yang terjadi?” aku tertegun dengan sebuah pertanyaan dari lelaki parubaya itu
“ amaq tiang pak, beliau memukul kami karena mendapati tiang dan adik tiang memegang buku yang tiang dapatkan dari tumpukkan sampah yang dibuang penduduk, amaq tidak suka melihat tiang dan adik tiang belajar, amaq mengira belajar hanya untuk orang-orang kaya” ujarku sambil menahan tangis
“ astagfirallahalazim, bisakah kamu mengantarkan bapak ketempat amaqmu nak ?”
“ gih pak, mari” aku antar lelaki itu kerumah, aku tidak tau apa yang akan di lakukan orang ini.
Setalah bapak itu masuk dan berbincang dengan amaq, aku berlari keluar menuju ami dan wanita itu. Aku masih larut dalam kecamuk fikiran dan perasaan aku masih cemas, sejuta pertanyaan di dalam otakku apa yang terjadi dengan ami, kalau ami tetap tidak sadarkan diri.
“ mia bawa adikmu masuk” suara ayah menyuruhku untuk segera membawa ami masuk.
Ashalatuhairumminannaum................
Suara itu, membangunkan aku dari dunia lain yang membawa aku mengerti kebahagiaan ketika bermimpi tapi aku sadar melayani sang pencipta adalah segalanya diatas segalanya. Kita mengerti dalam sejuta mimpi disanalah sejuta harapan akan kebahagiaan. Aku ingin semua mimpiku terwujud, aku ingin membuat orang-orang yang tidak mengerti pendidikan, untuk membuka mata karena ada peluang untuk merubah nasib semasih kita mampu dan tetap berjuang.
Aku bergegas mengambil air wudhu, air ini membuatku lega membuatku mengerti tuhan memberikan ketenangan dibalik sengsara kegelisahan. Aku merasakan insting yang sangat kuat, sang pencipta memberikan ilham, aku merasa seperti ada tarikan magnet. Segera aku mengambil mukenah dan kubangunkan adikku untuk shalat.
Cahaya sang fajar mulai terbit, indah senyum yang tulus dari sinarnya seakan bisa aku terka dan mengerti. Ada pesan-pesan yang disampaikan, ada kode-kode tersendiri yang diberikan. Pagi telah tiba aku bergegas kedapur, rutinitas pagi yang selalu aku kerjakan.
Semuanya telah aku persiapkan, dari masak sampai membersihkan sekeliling rumah kecil yang sederhana. Aku tetap bersyukur walaupun rumah ini kecil tapi tuhan mengilhami dan memberikan kehidupan yang walaupun sederhan tetapi hati ini selalu bersyukur akan nikmat sang khalik. Aku jadi mengingat lagu slank yang sering aku dengar di radio.
Aku melihat inaq tengah sibuk menyiapkan peralatan untuk ke sawah. Tapi dari tadi aku tidak melihat amaq, amaq kemana ? heemmmm
“ inaq amaq mana?
Inaq melihatku sambil tetap tersenyum, aku tak tahu ada apa dengan tingkah laku inaq yang menatapku tidak seperti biasanya.
“ amaqmu menghadiri rapat, ada sosial, emmm sosial. “
“ sosialisasi inaq?”
“iya itu maksud inaq”
Sosialisasi, sosisalisasi apa yang dimaksud inaq, aku kaget sejak kapan amaq peduli mengenai hal seperti itu. Sudahlah mungkin inaq hanya bercanda saja, tapi selama ini inaq tidak pernah membicarakn sesuatu yang tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.
Aku tengah melamun di depan rumah sambil melihat semut-semut yang dari tadi berhalu-lalang didepanku sesekali menatapku aneh, mungkin mereka berfikir aku tengah melakukan hal yang bodoh, “hahah kepo sekali jadi semut”.
Dari kejauhan aku lihat sosok seorang lelaki, tampaknya tidak asing bagiku. Itu seperti amaq, tapi pakaian amaq tidak biasanya serapi itu.
“ assalamualaikum ....”
“ waalaikumsalam amaq..”
“ masuk kedalam mia, ada yang amaq mau bicarakan. Panggilkan amaq inaq dan adikmu.”
Setelah semua keluargaku berkumpul di ruang keluargaku. Ketika amaq mulai membuka, pembicaraan aku dengan khusuqnya menyimak semua yang disampaikan. Kalimat-kalimat yang amaq sampaikan membuatku mengerti, mataku mulai berkaca-kaca. Haru, senang, kagum, tidak percaya dan syukur yang begitu besar untuk sang pencipta.
Amaq ternyata sudah menghadiri sosialisasi program bantuan untuk anak yang putus sekolah, namun mempunyai semangat juang yang tinggi untuk melanjutkan sekolah. Sosialisasi itu untuk meberikan pemahaman, orangtua pentingnya pendidikan untuk anak-anak sekarang. Disana dijelaskan ketika pendidikan (SDM) naik, maka taraf hidup dan ekonomi juga pasti naik.
Sosialisasi itu diadakan oleh pihak-pihak yang sadar akan pendidikan, mereka yang mengerti bagaimana pengaruh pendidikan untuk kemajuan bangsa. Sosialisasi ini juga bertujuan untuk membangkitkan semangat anak-bangsa agar lebih inovatif dan kreatif. Sehingga dari sana akan lahir pomuda pemudi yang sadar akan potensi dan berfikir kritis. Pemuda pemudi yang dapat membawa bangsa ini, sebagai bangsa yang dihormati seperti 84 tahun yang lalu. Ketika tanggal 28 oktober pemuda indonesia membacakan sumpah pemuda.
Hari ini aku begitu bahagia, rasanya aku dan adikku menjadi seorang yang paling bahagia. Sudah sekian lama aku menanti, akhirnya tuhan mengabulkan semua doaku. Amaq inaq akan aku dan ami buktikan kami bisa. Terimakasih bisikku dalam batin kecilku, sempurna sudah hidup ini dengan semua kejadian ini.
“terimakasih”
Langganan:
Komentar (Atom)